Ilustrasi wayang kulit (FOTO ANTARA/Herka Yanis Pangaribowo)
Yogyakarta (ANTARA News) - Wayang merupakan sebuah situs ideologis yang di dalamnya berbagai ideologi bertarung, saling meniadakan, melengkapi, dan memperkaya, kata pengamat seni budaya Universitas Negeri Yogyakarta Suminto A. Sayuti.
"Hingga akhirnya tercapai keseimbangan dalam harmoni yang dibingkai estetisasi pergelaran," katanya pada seminar bertema "Wayang Sebagai Media Pencerahan Kemanusiaan", di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu.
Menurut dia, secara sosiologis, wayang bisa memerankan fungsinya yang bersifat komunikatif. Artinya, melalui pergelaran wayang bisa dipropagandakan berbagai hal sejalan dengan kapabilitas dan kewenangan wayang sebagai seni.
"Melalui pergelaran wayang penonton bisa memetik beragam nilai di luar nilai yang sekadar bersifat hiburan, misalnya, nilai yang bersifat filosofis-transendental, lakon-lakon tertentu sengaja dipilih dan disiapkan agar kedua nilai saling memperkaya," katanya.
Ia mengatakan, dalam masyarakat tradisional Jawa, cerita dan pertunjukan wayang purwa sangat digemari. Di dalam wayang, hidup manusia di dunia dilukiskan sebagai suatu bayangan.
"Peristiwa demi peristiwa dan tujuan hidup berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu. Hidup manusia terjadi dan berlangsung dalam sebuah pola yang terberi dan tak terelakkan," kata Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.
Menurut dia, tema wayang juga termasuk dalam tema kepastian dan jauh dari tema kemungkinan. Dinamika dan dialektika wayang, terlebih ketika dimainkan dalang dalam suatu pergelaran, merupakan perlambang kehidupan manusia di dunia.
"Wayang memberi petunjuk bagaimana kita harus hidup dalam menunaikan tugas hidup kita di dunia. Oleh karena itu, membaca dan menonton wayang akan berarti pula sebagai proses beridentifikasi dengan tokoh-tokoh tertentu dan bercermin serta berteladan padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari," katanya.