Parud koleksi Museum Tembi Rumah Budaya Yogyakarta
Kreativitas masyarakat tradisional Jawa untuk menghasilkan sebuah teknologi sederhana juga tercermin dari sebuah alat dapur yang bernama parud. Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah parut. Fungsinya untuk memarut kelapa. Adakalanya hasil parutan dijadikan untuk membuat santan. Adakalanya pula hasil parutan untuk diramu atau dicampur dengan makanan, semisal gethuk agar rasanya menjadi gurih.
Bagi masyarakat Jawa, parud dianggap sebagai salah satu alat dapur yang harus ada, karena sebagai sarana penting untuk membuat santan dan lainnya. Memang alat ini paling banyak dipakai untuk memarut kelapa. Namun, tidak jarang pula alat ini kadang untuk memarut bahan-bahan jamu, seperti kunyit, jahe, temulawak, dan sebagainya. Jika tidak ditemukan alat pipisan, parud menjadi alternatif untuk melembutkan bahan-bahan jamu tersebut.
Masyarakat Jawa sudah mengenal parud setidaknya sebelum tahun 1930-an. Sebab ada sebuah kamus Jawa “Baoesastra Djawa” yang merekam alat ini. Kamus karangan WJS Poerwadarminta (1939) pada halaman 473 menyebutkan bahwa “parud piranti dianggo nisir krambil, lan sapiturute” yang artinya kurang lebih sebagai alat untuk mengukur kelapa. Hal itu menunjukkan bahwa alat ini sudah lama digunakan oleh masyarakat Jawa. Tentu masyarakat lain juga mengenal alat ini dengan istilah lain pula.
Parud biasanya dibuat dari selembar kayu berukuran sekitar 40 cm (panjang) x 10 cm (lebar) x 1 cm (tebal). Hampir sebagian besar permukaan 1 sisi dipenuhi dengan paku kawat dengan jarak yang beraturan. Sementara kayu yang biasa digunakan adalah kayu waru dan kayu nangka.
Dalam perkembangannya, parud juga dibuat dari bahan logam tipis berlubang sangat banyak. Setiap lubang ada bagian yang menonjol berfungsi seperti paku kawat. Bahkan parud masa kini punya permukaan empat sisi, bentuknya seperti balok. Masing-masing sisi memiliki bentuk lubang yang berbeda dengan fungsi yang berbeda pula, misalnya untuk memarut wortel, kelapa, papaya, dan sebagainya.
Perajin parud di Desa Sodo Gunung Kidul, foto: Desasodo.com
Kehadiran Parud dalam masyarakat Jawa dewasa ini boleh dikatakan tetap eksis, terutama di desa-desa. Sementara di sebagian kota besar, termasuk di pasar-pasar tradisional, parud sudah banyak tergantikan oleh mesin giling kelapa. Memang kehadiran mesin giling kelapa ini lebih efektif karena hemat tenaga dan waktu. Namun sebagian besar masyarakat masih percaya, bahwa rasa santan yang dihasilkan parud lebih berkualitas dibandingkan dengan hasil mesin giling kelapa. Itulah sebabnya, ada sebagian masyarakat yang terus menggunakan parutan kelapa untuk menghasilkan santan sayur.
Tidak hanya sebagai pengukur kelapa, ternyata parud juga bisa berfungsi untuk tlenan. Tlenan adalah alas kayu sebagai dasar atau landasan untuk meracik bumbu, misalnya memotong bumbu, sayuran, daging, dan sebagainya. Memang, salah satu sisi parud adalah kayu mulus tanpa kawat. Maka praktis parud juga sering dipakai sebagai pengganti tlenan, jika di dapur tidak dijumpai tlenan. Cara penggunaannya tinggal membalikkan parud pada sisi halus pada bagian atas.
Salah satu desa sentra produksi parud di DIY adalah Dusun Selorejo, Desa Sodo, Gunung Kidul. Di daerah ini ada sekitar 300 keluarga yang membuat kerajinan parud. Sementara pemasaran dilakukan hingga luar DIY. Di pasar-pasar tradisional, harga satu parud sekitar Rp 5.000. Parud kayu ini bisa tahan sampai 5 tahun.
Pada parud yang masih baru, agar tidak begitu tajam dan membahayakan bagi para kaum hawa saat memarut kelapa, biasanya bagian paku kawat diberi daun pisang terlebih dahulu dan kemudian baru digilas dengan alat pipisan. Alat pipisan terbuat dari batu berbentuk silinder, berdiameter 7-10 cm dan panjang sekitar 15-20 cm. Parud termasuk alat masak yang tajam dan sering melukai para penghuni dapur jika mereka tidak hati-hati saat mengukur kelapa.
Jika parud kelapa sudah tidak tajam lagi, dan gigi-gigi kawatnya sudah banyak yang lepas, maka penggunaannya hanya tinggal sebagai tlenan, atau dibuang begitu saja.
Sumber: Tembi 1 dan Tembi 2