RA Kosasih (Warisan Indonesia/Hardy Mendrofa)
Pementasan Opera Batak di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 4 April 2012, menghadirkan Zulkaidah Harahap, maestro Opera Batak yang dalam usia 65 tahun masih bening suaranya ketika menyanyi di panggung. Ia adalah salah satu maestro Opera Batak, selain Alister Nainggolan (73 tahun) yang juga tampil malam itu. Di kampungnya, Zulkaidah sudah tak banyak lagi berpentas. “Dulu waktu remaja aku tak pernah mencangkul, sekarang aku mencangkul,” ujarnya, tertawa.
RA Kosasih, mengenakan sarung dan kemeja batik lengan panjang, duduk santai di teras rumah anaknya di Rempoa, Jakarta Selatan. Sebuah tongkat panjang tersandar di kursinya. Ia tampak senang sekali ketika ada tamu yang menyambangi. “Maaf ini, saya mau beli roti dulu,” katanya sambil mengeluarkan uang dari saku kemejanya.
Adalah kebiasaannya menunggu tukang roti lewat pada sore hari, untuk persiapan santap malam dan sarapan esok pagi. “Saya biasa makan roti dicelupkan di susu kalsium,” tutur Raden Achmad Kosasih, yang menyantap nasi hanya pada siang hari. Dalam usia 93 tahun, tepat pada 4 April 2012, kelahiran Bogor tahun 1919 itu tampak sehat, meskipun sempat masuk-keluar rumah sakit lantaran jantung pada awal 2000. Ia masih merebus air sendiri setiap pagi dan mengukus nasi (yang sudah dimasak anaknya) agar lebih mudah ditelan.
Komikus wayang yang pernah sangat populer pada era 1960-an ini nyaris terlupakan, padahal dialah pelopor komik di Indonesia, sehingga di kalangan komikus dikenal sebagai Bapak Komik Indonesia. Memang, sebelum munculnya karya-karya RA Kosasih, sudah banyak komik di Indonesia – seperti Put On dan Sie Jin Kwie – tetapi di media cetak seperti Koran Star Weekly dan majalah Tjaraka. Buku komik di Indonesia dimulai sejak RA Kosasih bersama penerbit Melodi meluncurkan Sri Asih (1950), yang bisa dianggap sebagai komik superhero pertama di Indonesia. Nama Kosasih semakin mencuat ketika bersama penerbit Melodi menerbitkan buku komik Ramayana dan Mahabharata.
“Naskahnya saya ambil dari terbitan Balai Pustaka, kemudian saya reka untuk komik. Tentu saja ada perbedaan. Jadi sekarang kalau ada pementasan Mahabharata dan Ramayana, lihat dulu, kalau ceritanya mirip cerita saya ya itu karya saya,” tutur RA Kosasih, terkekeh. Kepopulerannya sebagai komikus membuatnya meninggalkan pekerjaan sebagai tukang gambar di lembaga penelitian hama tanaman milik Belanda.
Kini ia bahagia, komik-komik wayangnya yang fenomenal dicetak ulang oleh penerbit Plus dalam kemasan mewah. Berkat cetak ulang, ditambah beberapa cetakan khusus donasi, biaya rumah sakit RA Kosasih teratasi. “Alhamdulillah masih banyak yang ingat saya,” ujar RA Kosasih, yang sudah sejak 1990-an tidak menggambar (“Sejak tangan saya mulai menggigil karena tua,” katanya). Ia juga mengaku bahagia ketika menerima beberapa penghargaan, di antaranya dari Pemerintah RI berupa sertifikat dan uang Rp10 juta. “Uangnya sudah habis,” ujarnya.
Ia tak mengharap lebih dari itu. “Mau apa lagi, sudah tua,” katanya. Sekarang – terutama setelah istri dan anak sulungnya meninggal dunia – ia lebih suka menikmati hari tuanya bersama keluarga putri bungsunya, Yudowaty Ambiyana. “Mau apa lagi, saya tinggal tunggu waktu saja,” ujarnya dengan suara yang halus dan logat Sunda yang kental.
Beruntunglah RA Kosasih, di hari tuanya ia bisa tinggal bersama anaknya yang masih bekerja di Kementerian Perhutanan, kendati dalam kondisi yang sederhana. (WI/Rita Sri Hastuti)