Raden Ngabehi Ronggowarsito (Ilustrasi: Fathur Gamblang)
Ia minggat dari pondok lalu berkelana. Pribadinya teguh mengantarnya menyerap ilmu kehidupan dan menghasilkan karya besar.
Masyarakat selalu mengenang sastrawan dan pujangga besar Raden Ngabehi Ronggowarsito. Tokoh yang hidup pada masa keemasan Keraton Surakarta ini meninggalkan “warisan tak terharga” berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Minat besarnya ada di bidang sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, dialah pujangga terakhir Keraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T. Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kiai Kasan Besari. Ia pun pergi disertai seorang emban bernama Ki Tanudjaya sebagai guru mistiknya.
Ronggowarsito memulai kariernya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya, ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang di antaranya dalam serat wirid Hidayatjadi, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha. Dia juga punya kemampuan melihat jauh yang menghasilkan karya bernama Serat Jaka Lodhang dan Serat Sabda Jati. Dalam karya kedua itu, ia mampu meramalkan kematiannya sendiri.
Sumber: Warisan Indonesia