Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Jl. Keraton Kasepuhan No. 43, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon Utara Koordinat GPS : 6° 43' 34.42" S dan 108° 34' 26.54" E
Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sekarang dikenal dengan nama Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon. Penduduk Cirebon pada masa lampau menamai Mesjid Pakungwati karena dulu terletak dalam komplek Keraton Pakungwati.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di Jl. Keraton Kasepuhan No. 43, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon Utara, sekitar 100 meter sebelum pintu masuk ke Keraton Kasepuhan Cirebon, di sebelah kanan jalan. Di seberang Masjid Agung Sang Cipta Rasa terdapat deretan warung-warung sederhana yang menjual bermacam makanan dan minuman pemuas lapar dan dahaga. Bangunan tertinggi Keraton Kasepuhan kabarnya tidak boleh lebih tinggi dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini.
Pada saat awal pembangunan Masjid Agung Demak, adalah Sunan Gunung Jati yang memohon izin kepada para wali lainnya untuk membuat pasangan Masjid Agung Demak itu di Kota Cirebon. Jika Masjid Agung Demak dikatakan memiliki watak maskulin, maka Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini dikatakan memiliki sifat feminin.
Pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang terdiri dari mantan pasukan Majapahit, dari Demak, dan dari Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya,Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, seorang mantan panglima pasukan Majapahit yang juga memiliki kemampuan rancang bangun, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang masjid tersebut.
Situs pemerintah propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa : “Mesjid Agung Sang Cipta Rasa” dibangun pada tahun 1498 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung Jati.
Arsitektur
Gerbang Paduraksa atau Padureksa warisan dari kebudayaan Indonesia sebelum Islam di serap menjadi gerbang Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini menjadi satu penanda bahwa masjid agung Cirebon dibangun oleh dan untuk muslim yang berasal dari berbagai latar belakang. pembangunan masjid ini pun dalam sejarahnya melibatkan berbagai kelompok masyarakat Jawa, Demak, Majapahit dan Cirebon sendiri.
Tembok pagar Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dibangun dari susunan bata merah yang sama sekali tidak diplester, namun memiliki ketebalan hampir 70 cm, mengeliling masjid.
Bentuk Gerbang paduraksa dimasjid agung Cirebon, digunakan pada tiga gerbangnya termasuk gerbang utama. Bentuk gerbang seperti ini merupakan warisan budaya sebelum Islam.
Tiga gerbang depan masjid Agung Sang Cipta Rasa ini mengadopsi bentuk gerbang Paduraksa yang biasa digunakan pada bangunan bangunan candi. Gapura depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terbuat dari susuan batu bata merah bergaya Majapahitan. dengan berbagai modifikasi, namun ornamen punden berundak tak hilang dari gerbang ini, termasuk ornamen yang ditempelkan menjadi penghias gerbang dan pintu besarnya.
Masjid Sepasang. Bisa temukan kemiripannya ?. Sejarah menyebutkan bahwa Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun sebagai pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dengan watak maskulin maka bangunan Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon dibangun dengan watak Feminim.
(https://bujangmasjid.blogspot.com)
Dari sudut pandang arsitektur, Masid Agung Sang Cipta Rasa ini memang mewakili watak feminin. Tidak seperti masjid-masjid wali pada umumnya yang mempunyai bentuk atap tajug atau limas bersusun dengan jumlah ganjil, Masid Agung Sang Cipta Rasa mempunyai bentuk atap limasan dan diatasnya tidak dipasang momolo (mahkota masjid). Bisa jadi inipun juga perlambang dari sifat feminin-nya. Bentuk konstruksi secara keseluruhan-pun terlihat lebih pendek dibandingkan dengan Masjid Agung Demak yang kelihatan tinggi dan gagah.
Makna mendalam terselip dalam susunan atap yang bersusun tiga ini. kepercayaan lama ditanah air memaknainya sebagai tiga tahapan kehidupan manusia mulai dari kehidupan di dalam Kandungan, di alam dunia dan di alam setelah kematian. Sedangkan dalam makna Islami diterjemahkan sebagai Iman, Islam dan Ikhsan.
Denah Bangunan
Denah Masjid Agung Sang Ciptarasa yang menunjukkan bagian bagian masjid lama : garis hitam A-A merupakan dari batu bata merah yang amat tebal. B: Michrab. C-C: titik penjuru dari bagian masjid lama, batas perluasan setelah terjadi kebakaran di abad ke 15. Tiang tiang kayu asli dari bangunan lama merupakan tiang tiang dalam kotak hitam C-C yang ditandai dengan tanda hitam, sedangkan tiang tiang yang dibangun kemudian di abad ke 19 adalah tiang yang ditandai dengan tanda lingkaran. (foto dari lecturer.ukdw.ac.id)
Denah Masjid Agung Sang Cipta Rasa saat ini. Gerbang belakang yang ditunjukkan dengan panah warna ungu adalah gerbang yang senantiasa dibuka untuk pengunjung masjid 24 jam sehari semalam. pengunjung luar kota biasanya akan langsung dikenali oleh para pengurus masjid dan diminta untuk mengisi buku tamu yang sudah disediakan di meja kecil di pendopo beberapa meter dari gerbang tersebut. (https://bujangmasjid.blogspot.com)
Bangunan utama masjid Agung Sang Cipta Rasa berdenah persegi panjang seluas sekitar 400 meter persegi. Beberapa bangunan tambahan kini mengitari bangunan utama. Ada dua pendopo besar persegi panjang yang dibangun dan ditambahkan disisi timur (depan), dua pendopo panjang di sisi utara (kanan) dan satu pendopo dengan ukuran yang serupa juga dibangun disisi selatan (kiri).
Bagian beranda samping Masjid Agung Sang Cipta Rasa dengan tiang-tiang kayu berukir pada bagian atasnya yang terlihat sudah sangat tua. (https://thearoengbinangproject.com)
Kayu ukir indah bertuliskan huruf-huruf Arab yang berada di bagian depan Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Meskipun terlihat tua dan kusam, namun ukiran kayu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini masih memancarkan keindahan seni ukirnya yang halus. (https://thearoengbinangproject.com)
Bangunan tempat wudhu dan kamar mandi juga dibangun kemudian di sisi paling utara dan selatan. Sayangnya bangunan tempat wudhu dan kamar mandi ini dibangun dengan tidak mengikuti pakem dari bangunan utama maupun bangunan tambahannya sehingga terlihat sangat kontras. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemisahan yang jelas antara area jemaah wanita dan pria.
Gentong-gentong penampung air di Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang sering digunakan Sultan untuk membasuh muka, tangan dan kaki sewaktu berwudlu, guna membersihkan diri sebelum melakukan shalat. (https://thearoengbinangproject.com)
Interior
Seluruh sokoguru utama (ada dua belas) di dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa sudah di topang dengan besi baja untuk menjaga keutuhan struktur kayu bangunan masjid tua ini. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari upaya pelestarian.
Mengingat usianya yang sudah sangat tua, seluruh sokoguru di dalam masjid ini sudah ditopang dengan rangkaian besi baja untuk mengurangi beban dari masing masing pilar tersebut, hanya saja kehadiran besi besi baja tersebut sedikit mengurangi estetika. Keseluruhan sokoguru masjid ini berdiri di atas umpak batu kali. Umpak pada tiang-tiang utama berbentuk bulat dan di bagian serambi berbentuk kotak.
Susunan kayu penyangga atap utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang berbentuk limasan susun tiga ini terlihat rumit namun rapi dan sangat indah, dan menjadi ciri khas ruang utama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. (https://thearoengbinangproject.com)
Rangkaian rumit saling silang pasangan kayu konstruksi di dalam masjid ini benar benar melemparkan kita ke masa lalu mengingat teramat sulit untuk menemukan bangunan baru dengan rancangan yang serupa. Atap puncak masjid (wuwungan) ditopang oleh dua sokoguru paling tengah. Dan diantara dua sokoguru ini yang menjadi titik tengah bangunan utama sekaligus menjadi titik berdirinya muazin saat mengumandangkan azan termasuk azan pitu (azan tujuh) saat sholat Jum’at.
Maksurah
(https://thearoengbinangproject.com)
Maksurah untuk keluarga Kerajaan
Layaknya sebuah masjid kerajaan, di masjid Agung Sang Cipta Rasa ini juga disediakan tempat sholat khusus bagi keluarga kerajaan atau Maksurah berupa area yang dipagar dengan pagar kayu berukir. Ada dua Maksurah di dalam masjid ini. satu maksurah di shaf paling depan sebelah kanan mihrab dan mimbar diperuntukkan bagi Sultan dan Keluarga keraton Kasepuhan. Serta satu Maksurah di shaf paling belakang disamping kiri pintu utama diperuntukkan bagi Sultan dan keluarga keraton Kanoman.
Maksurah, banyak ditemui di masjid masjid tua Arabia, Afrika Utara hingga wilayah wilayah bekas kekuasaan emperium Turki Usmani. Fungsi awalnya adalah sebagai perlindungan bagi Sultan dan pejabat tinggi kerajaan selama melaksanakan sholat di masjid dari kemungkinan serangan fisik terhadap petinggi kerajaan. Di dalam maksurah ini pada masanya juga dilengkapi dengan senjata ringan pembelaan diri seperti tombak dan lainnya.
Mihrab dan Mimbar
Ada dua mimbar di dalam masjid ini yang bentuk dan ukurannya sama persis. Mimbar yang kini dipakai merupakan mimbar pengganti, disebelah kanan mimbar ini terdapat maksurah dan disebelah kanan maksurah mimbar lamanya ditempatkan.
Menjadi lebih menarik manakala kita masuk ke dalam bangunan masjid ini. nyaris tak ada ornamen Islami seperti yang biasa kita temukan di dalam sebuah bangunan masjid bergaya Arabia. Mihrab dan mimbar di masjid ini sepi dari ukiran ayat ayat suci Al-Qur’an. Mihrab nya sendiri dibangun dari batu batu pualam berukuran floral, yang berpusat pada bentuk yang menyerupai bunga matahari pada bagian puncak mihrab.
Pola ukiran diatas mimbar masjid Agung Cipta Rasa ini sangat mirip dengan bentuk mahkota raja raja Jawa. Lebih menariknya lagi adanya ornament bunga matahari di bagian tengahnya itu mengingatkan kita pada bentuk Surya Majapahit yang merupakan lambang kerajaan Majapahit.
Adanya bentuk bunga matahari di mihrab masjid ini mengingatkan kita pada bentuk Surya Majapahit yang merupakan lambang kebesaran Kerajaan Majapahit. Memang tak mengerankan, karena konon memang proses pembangunan masjid ini turut melibatkan Raden Sepat yang tak lain adalah panglima pasukan Majapahit yang kalah perang dalam serangannya ke Demak di masa kekuasaan Raden Fatah dan kemudian memeluk Islam.
Maka wajar bila kemudian ada banyak kemiripan antara Masjid Agung Demak dengan Masjid Sang Cipta Rasa ini termasuk Masjid Agung Banten di Banten Lama, provinsi Banten karena memang melibatkan orang yang sama dalam proses pembangunannya. Sampai sejauh ini belum ditemukan catatan tentang Raden Sepat dan sisa pasukannya yang dibawa ke Cirebon termasuk dimana beliau dimakamkan.
Masjid dengan sembilan pintu
Bungkukkan atau merendahkan diri ketika berada di lingkungan masjid
Bangunan utama (asli) Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki Sembilan Pintu menyimbolkan Sembilan Wali (Wali Songo) yang turut berkontribusi aktif dalam proses pembangunannya. Pintu utama nya berada di sisi timur sejajar dengan mihrab, namun pintu utama ini nyaris tak pernah dibuka kecuali pada saat sholat Jum’at, sholat hari raya dan peringatan hari hari besar Islam. Delapan pintu lainnya ditempatkan di sisi utara dan selatan (kanan dan kiri) bangunan utama dengan ukuran sangat kecil dibandingkan ukuran normal sebuah pintu. Secara filosofis hal ini dimaksudkan agar pengunjung merendahkan diri ketika berada di lingkungan masjid.
Sumber bacaan: