Warisan Indonesia/Ibnu Setiadi
“Kalau ingin menjadi gubernur yang baik di Jakarta, masalah kebudayaan harus diurus. Meskipun bukan budayawan, feeling-feeling terhadap kebudayaan harus ada.”
Kutipan kalimat di atas disampaikan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta periode 1966 – 1977, Ali Sadikin, saat peresmian Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 30 Mei 1978.
Tentu bukan tanpa alasan bila Bang Ali—panggilan akrabnya—mengingatkan kepada gubernurgubernur penerusnya untuk terus memperhatikan masalah kebudayaan di Ibu Kota, agar kota yang menjadi titik temu beragam suku bangsa di Nusantara ini memiliki wajah yang humanis, beradab, dan tidak eksploitatif.
Bang Ali tidak hanya memberikan janji-janji kosong. Berbeda dengan pemimpin sekarang yang lebih menggunakan medium kebudayaan sebagai sarana propaganda guna mencari sekaligus melanggengkan kekuasaan, Bang Ali tidak. Meski berlatar belakang militer dan sama sekali tidak memahami masalah kebudayaan, tetapi ia telah melakukan tindakan-tindakan nyata agar Jakarta sejajar dengan ibu kota negara lain.
Pada masa kepemimpinannya, sekitar tahun 1968, Jakarta memiliki pusat kesenian yang dikenal dengan nama Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jalan Cikini Raya. Areal yang dulunya merupakan kebun binatang itu dia sulap menjadi pusat kegiatan seni. Sementara kebun binatang dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan.
Atas usulan seniman-seniman ternama pada waktu itu, seperti Trisno Sumardjo, Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, Wahyu Sihombing, dan Djajakusuma, di lokasi yang sama juga didirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Lembaga yang sekarang menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu dimaksudkan sebagai lahan persemaian calon seniman.
Bukan itu saja, pada masa Ali Sadikin pula gelanggang remaja dibangun di lima wilayah di Jakarta, seperti Gelanggang Remaja Bulungan, Planet Senen, Grogol, Kampung Melayu, serta di Kebon Bawang, Jakarta Utara. Beberapa seniman, seperti Radhar Panca Dahana, Anto Baret, Teguh Esha, Neno Warisman, lahir dari gelanggang remaja yang pada masanya sangat produktif berkreasi.
Kini gelanggang remaja seperti ditelan zaman, ruh gelanggang meredup seiring gempitanya pembangunan yang menyandarkan pada keberhasilan fisik semata, tanpa merawat ruang batin warga kota. (WI/E. Pudjiachirusanto)