ads

Patung Jakarta Pasca Bung Karno

Warisan Indonesia/Ibnu Setiadi

Meskipun Presiden Indonesia dan Gubernur DKI Jakarta silih berganti, belum ada yang bisa menandingi Bung Karno dalam hal menghias Jakarta dengan patung-patung publik yang monumental. Mengapa?

Siapakah yang meragukan jiwa seni Ir. Soekarno, proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia? Bung Karno, demikian panggilan presiden pertama RI, amat peduli dengan kecantikan wajah Jakarta, sebagai ibu kota negara, ibu dari seluruh warga bangsa dari Sabang sampai Merauke, yang sudah sepantasnya dibanggakan.

Seperti Amerika Serikat bangga dengan patung Liberty, Prancis bangga dengan menara Eiffel, Jepang bangga dengan patung Hachiko Anjing Setia, patung-patung publik dalam bentuk tugu, monumen maupun relief yang digagas sekaligus warisan era Bung Karno, patut dibanggakan. Antara lain Monumen Nasional (Monas), Monumen Selamat Datang, Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta Pusat, dan Monumen Dirgantara di Jakarta Selatan yang kesemuanya dikerjakan oleh seniman-seniman Indonesia dengan medium perunggu. Selain itu, Patung Tani di seberang hotel yang merupakan hadiah dari Pemerintah Rusia dan Patung Diponegoro di Taman Monas sumbangan Italia.

Selain dapat kita apresisasi, patung-patung itu, dan patung lainnya yang terletak di puluhan titik, secara artistik dan historis, telah menjadi penanda, simbol, dan bagian yang membanggakan bagi warga Jakarta dan secara luas, Indonesia.

Meskipun demikian, ada satu pertanyaan dari mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, mengapa Bung Karno yang amat peduli dengan monumen-monumen, justru tidak menyelamatkan rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta.

Bukankah di halaman rumah itu sejarah kemerdekaan bangsa dimulai dengan Bung Karno—didampingi Hatta—membacakan teks proklamasi, pada hari Jumat, pukul 10.00 WIB, tanggal 17 Agustus 1945, bulan suci Ramadan, yang kemudian berkumandang ke seluruh penjuru dunia.

Gubernur DKI Ali Sadikin waktu itu “mengganti” Rumah Proklamasi yang telah rata dengan tanah pada tahun 1960 dengan Monumen Proklamasi pada era Soeharto. Namun, nilai historis rumah itu tetap saja tidak tergantikan. Menurut sebuah sumber, sesungguhnya bukan niat Bung Karno menghancurkannya.

Yang terjadi, pada waktu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara, kemudian menyetujui usul Wakil Gubernur DKI Henk Ngantung yang dipercayainya bahwa rumah tersebut akan direnovasi. Henk Ngantung, yang juga pelukis, secara khusus ditugasi Presiden Soekarno menata keindahan Jakarta.

Namun, ternyata renovasi itu tidak pernah terjadi. Bahkan, dalam situasi politik yang gonjang-ganjing pada 1965, Henk Ngantung pun diganti dengan tuduhan terlibat PKI, meski sampai wafatnya pada 1991 tidak pernah terbukti.

Semasa menjadi presiden, Bung Karno yang dalam dirinya mengalir darah pejuang, politisi, arsitek, pengagum keindahan, dan pelukis, akrab dengan para seniman: pelukis, penari, penyanyi, sastrawan, dan lain-lain. Tidak mengherankan kalau jatuh cinta pada sebuah lukisan, ia akan membeli, tak jarang dengan cara mencicil. (WI/Yusuf Susilo Hartono)

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

#buttons=(Accept !) #days=(2000)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !